TRIBUNNEWS.COM - Meski kurang mendapat perhatian dalam kehidupan politik – terkecuali menjelang Pemilu jadi instrumentalis penghimpun massa saat gelar kampanye – keberadaaan musik popular yang secara bisnis menguasai pasar industri hiburan musik pada kasus-kasus tertentu juga tak luput dari sorotan politik.
Pengaruh perkembangan budaya musik popular juga pernah mewarnai dunia perpolitikan dan politik kebudayaan di Indonesia, baik kala zaman kepemimpinan Bung Karno maupun Orde Baru. Atau bahkan bisa-bisa bermasalah juga di era Orde Reformasi suatu hari kemudian?
Revolusi belum selesai, begitu pekik Bung Karno. Saat memimpin negeri ini, tahun ’60-an, Bung Karno sempat mengeluarkan ‘regulasi politik kebudayaan’, pencekalan terhadap serbuan musik popular yang berbau budaya Barat alias musik ngak ngik ngok. Karena jenis musik ini tak bedanya neokolonialisme kebudayaan yang dinilai bisa mengancam dan membahayakan jalannya revolusi yang belum selesai. Musik ngak ngik ngok dilarang diputar atau dipanggungkan dipertontonan di hadapan publik. Korbannya grup musik Koes Bersaudara yang harus mendekam di hotel prodeo Glodok, selama 100 hari.
Dalam perspektif strategi kebudayaan, pencekalan terhadap musik ngak ngik ngok (baca; budaya popular) ini dimasudkan bukan hanya akan berpengaruh buruk terhadap mentalitas bangsa, tapi juga bisa mengancam kedaulatan kepribadian kebudayaan bangsa. Langkah politik Bung Karno ini dikenal dengan doktrin politik Trisakti, merupakan bagian dari strategi kebudayaan sebagai langkah startegis untuk menjaga kedaulanan politik, kedaulatan ekonomi, dan kedaulatan kepribadian budaya bangsa.
Sebagai wujud dari strategi politik kebudayaan, Bung Karno tidak menghendaki kedaulatan kepribadian, identitas, dan jati diri budaya bangsa ditindas dan digerogoti oleh keberadaan budaya musik ngak ngik ngok yang jelas-jelas dianggap tidak mencerminkan nation character building. Musik sebagai bagian dari karya kebudayaan merupakan pencerminan nilai-nilai yang terkandung dari masyarakat bersangkutan. Bahkan tinggi rendahnya nilai budaya suatu masyarakat dapat dipelajari dari watak musiknya.
Sorotan politis terhadap perkembangan musik pop Indonesia kembali terulang pada era Orde Baru, saat Menteri Penerangan RI dijabat Harmoko, juga sempat mengeluarkan ‘regulasi politisasi budaya musik’ pencekalan terhadap lagu-lagu berlirik cengeng. Imbasnya lagu Hati yang Luka (1987), ciptaan Obbie Messakh, dinyanyikan penyanyi bersuara melankolis si Betharia Sonata, yang saat itu lagi ngetop-ngetopnya kena cekal, tidak boleh masuk layar Televisi Republik Indonesia, karena dinilai kandungan liriknya dangkal dan cengeng. Lirik lagu sejenis ini yang saat itu mendominasi jagad musik pop Indonesia, menurut Harmoko, dinilai tidak cocok untuk politisasi sambung rasa pembangunan karakter kepribadian bangsa.
Sebagai Menteri Penerangan RI, Harmoko dibuat gerah dan geram oleh kondisi musik pop Indonesia yang saat itu begitu didominasi oleh citraan musik dan lirik lagu sejenis dan sebangun Hati yang Luka; Kalaulah memang kita berpisah / Itu bukan suratan / Mungkin ini lebih baik / Agar kau puas membagi cinta / Pulangkan saja aku / Pada ibuku atau ayahku
Seiring perkembangan – kalau tidak mau disebutkan sebagai dekadensi – kini tema syair lagu cinta dalam ranah musik pop Indonesia bergeser selera, meski narasinya tak beranjak dari pemaknaan cinta yang sempit, dangkal dan itu-itu pula. Bahkan kalau boleh dibilang kini bedanya malahan lebih vulgar. Eufemisme kata ‘membagi cinta’ yang pernah disenandungkan lewat lagu ‘cengeng’ Hati yang Luka-nya Betharia Sonata kini lebih konotatif. Seperti dicontohkan pada lirik lagu berikut ini; Ku mencintaimu / Sedalam-dalamnya hatiku / Meskipun engkau / Hanya kekasih gelapku. (Kekasih Gelapku – Ungu).
Kalau Ungu berselingkuh dengan ‘kekasih gelapku’, beda lagi dengan Matta lebih memilih tema berselingkuh dengan ‘dirimu cinta sesaatku’ seperti dituangkan lewat lagu Ketahuan. Saking ngetopnya sampai anak kecil pun hafal di luar kepala menyanyikan. Kesakralan cinta atau kesetiaan kini diterjemahkan menjadi semacam hasrat cinta yang bisa diperuntukkan bagi kesenangan dan kenikmatan sesaat; O ow.. kamu ketahuan / Pacaran lagi / Dengan teman baikku / Tapi tak mengapa / Aku tak heran / Karena dirimu cinta sesaatku.
Lebih puitisnya lagi ‘membagi cinta’ sudah dimaknai selayaknya orang berbalas pantun, berbalas saling selingkuh, dari selingkuh ke selingkuh ‘kau pikir ku tak bisa berbuat hal yang sama’sehingga skornya impas; Aku juga selingkuh / Di belakang matamu / Kau pikir aku tak bisa /Berbuat hal yang sama. (Impas – Rossa)
Atau konotasi kata ‘membagi cinta’ bisa diinterpretasikan dan direpresentasikan dalam artian yang begini; Aih.. senangnya dalam hatiku / Kalo beristri dua / Istri tua merajuk / Balik ke istri muda / Kalo dua dua merajuk / Ana kawin tiga . (Madu Tiga – Ahmad Dhani)
Musik sebagai bahasa ekspresif, selain sifatnya bisa bermakna individualis maupun kolektif. Tinggal bagaimana menginterpretasikan dan mereprentasikan dalam realitas potret kehidupan. Karena musik itu sendiri secara personal adalah ekspresi hasrat hidup untuk mengerti diri sendiri di dalam memahami kesadaran akan nilai-nilai keindahan, kepribadian, moralitas, dan intelektualitas.
Seandainya Bung Karno masih jadi presiden atau Harmoko masih menjabat menteri, pastilah dibuat gerah dan geram oleh kondisi budaya musik pop Indonesia yang citraan liriknya yang makin tidak edukatif lebih parah di banding Hati yang Luka. Tidak mencerminkan nation character building. Adalah saatnya untuk lebih memaknai peran dan fungsi musik tidak sekadar hiburan hip hip hura hura semata, tapi juga bagaimana mengintegrasikannya dalam karya besar kehidupan kemanusiaan dan kebudayaan. Yaitu dengan menempatkan kembali kedaulatan budaya musik pop Indonesia sebagai sumber kekuatan, kebanggaan, kepribadian dan jati diri budaya bangsa dalam menghadapi dampak negatif dari gempuran globalisasi budaya popular. Musik memang hiburan dan untuk menghibur, tapi unsur dari hiburan ini juga memberi pencerahan dan pengkayaan bathin bagi pendengar dan penikmatnya, bukan sebaliknya.